Wilujeng milangkala, wilujeng tepang tahun, maal milad mubarok, happy birthday, tanjoubi omedetou, selamat ulangtahun yang pertama Museum Multatuli. Mugia janten sesuatu nu seueur mangfaatna kanggo sadayana.
Masih belum bisa move on dari acara milad pertama Museum Multatuli. Meski badan masih kurang oke, tapi kumaha carana kudu tetep datang. Loba alesan kunaon kudu datang. Salah satunya gak enak sama panitia acara (atau yang punya acara?), soalnya beberapa hari sebelumnya saya recet banget tanya itu ini. #sungkemkekakekBudinubageur 😊
Jadi ceritanya tuh, di milad pertama Museum Multatuli ini ada dua acara. Pagi lecture dan siang workshop. Nah, saya pengen banget ikutan workshop yang dari judulnya aja udah menarik. Selain sekadar pengen tahu pengen tambah ilmu juga. Ya syukursyukur katepaan pinterna para pemateri.
Dan akhirnya saya pun datang, berdua dengan kawan dari Komunitas Akar Pohon, Sajira. Dan telat. Tapi masih boleh masuk kok. Kan ada kakek bageur. Hahaha. Emang sih acaranya belum mulai, masih acara hiburan oleh komunitas Institut Karinding Nusantara. #dan saya rada ngahuleng pas ada yang bagiin stiker Institut Karinding Nusantara. Pertanyaan saya adalah mengapa logo mereka bintang dan bukan karinding? Oke skip.
Alasan berikutnya saya pengen dateng ke milad Museum Multatuli adalah karena ada Tonggeret ti Pakidulan. (Yang pas saya datang mereka lagi dudukduduk didepan pintu Museum). Sebagai fans garis keras saya kudu liat penampilan mereka, padahal saya baru tahu ada Tonggeret tuh sehari sebelum acara. Ada yang ngeshare rundown acara di grup WhatsApp. Karena ada yang tahu saya suka sama Tonggeret maka saya pun kembali dicengin padahal... yasudahlah.
“Atuh teh Dede mah pasti dateng, kan ada Tonggeret” pesan WhatsApp di grup sebelum saya baca rundown, ngakak aja udah. Masih mending sih, daripada ada yang tanya “Tonggeret itu apaan?” Pengen banget jawab gini, “Tonggeret itu sejenis serangga yang bisa mengeluarkan bunyi yang sangat nyaring.” Tapi sayangnya kasusnya berbeda. Maka jawaban saya adalah, “Grup musik tradisional” dan saya tidak menerima pertanyaan lanjutan.
Kembali ke acara milad Museum Multatuli, karena datengnya telat jadilah gak kebagian kursi. Ada emang yang kosong, tapi satu di belakang dan satu lagi nun di temgah sana. Jadilah kita duduk berjauhan padahal sedang tidak musuhan. Saya duduk di kursi yang tengah aula, dan tahukah kalian siapa orang yang ada di samping saya? Tak lain dan tak bukan adalah ibu kepala SMA Negeri 3 Rangkasbitung. Yang walau sudah tidak lagi belia tapi masih cantik dan ini fakta. Akhirnya ngobrol aja udah, kangenkangenan. Sekadar informasi gak penting, saya pernah bekerja di SMAN 3 Rangkasbitung sebagai pustakawan. Gak lama emang. Cuma satu semester dan karena berbagai hal maka awal 2019 kemarin saya memutuskan untuk berhenti.
Satu yang baru saya ketahui ternyata ibu kepsek pernah tinggal di bagunan yang sekarang ini menjadi Museum Multatuli, kan emang dulunya kantor dan rumah dinas kewedanaan.
“Dulu ibu pernah tinggal disini, tahun berapa ya ibu lupa”
“Bapaknya ibu wedana?”
“Bukan. Kakak ibu. Bapak mah dulu rumah dinasnya disana (nunjuk ke kawasan setda), pas kakak ibu tinggal disini bapak sudah pensiun tapi ibu ikut tinggal sama kakak”
Lalu mengalirlah cerita yang tak pernah saya tahu sebelumnya. Cerita yang menarik dan menurut saya punya nilai sejarah tersendiri. Walaupun sekarang KTP saya Lebak, dan mencintai Lebak, tetapi saya tidak lahir di Lebak. Saya pindah ke Lebak sewaktu.... oke, ini gak penting.
Dari cerita ibu kepsek banyak yang saya dapat, tentang bagaimana Lebak pada masa itu dan hari ini. Karena ibu kepsek anak dari seorang yang katakanlah pejabat, maka tempat tinggalnya pun berpindah sesuai kemana tempat bertugas. Semoga cerita dan ilmu yang saya dapat tidak segera dibawa pergi oleh lupa.
Ketemu siswa SMAN 3 Rangkasbitung dan serasa seumuran
Balik lagi ke acara milad Museum Multatuli, setelah sambutan dari Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lebak dan Kepala Kantor Perwakilan BI Banten, sambutan dari iBupati yang paling cetar membahana. Begitu optimis dan penuh semangat. Selalu suka aja sama ibupati dengan segala kurang dan lebihnya. Bagaimana dia berusaha untuk menjadikan Lebak agar terlihat oleh yang lain. Sambutan yang lebih banyak tentang wisata yang ada di Lebak, “kenali dulu daerahmu” satu kalimat yang benarbenar saya simpan rapi, karena bagaimana kita bisa bangga dan cinta dengan daerah kita kalau kita sendiri gak kenal. Bukankah tak kenal maka
Setelah sambutan ibupati yang berapiapi, acara selanjutnya adalah lecture oleh Gustika Jusuf Hatta, cucu dari proklamator Muhammad Hatta. Yang diawal pembicaraannya dia berkata “maaf, karena public speaking saya tidak bagus.” Terlepas dari bagaimana dia menyampaikan ceramahnya, karena saya tidak punya kapasitas untuk mengomentari, kesan yang saya tangkap adalah dia pintar ah bukan, dia cerdas. Lalu juga cantik dan kekinian. Millenial lah udah.
***
“Teteh gak jadi photo sama Tonggeret?”
“Nggak”
“Kenapa?”
“Nggak kenapakenapa”
Padahal mah saya tuh... yasudahlah.
Mata adalah lensa terbaik yang Tuhan ciptakan. Jadi, jikapun saya tak photo bersama Tonggeret tak mengapa. Karena melihat mereka dan mendengarkan musik yang mereka mainkan saja saya sudah bungah. Apalagi pas sesi kedua (akhirnya saya bisa ikut workshop. Yeeeey), ditengah sampai penghujung acara hujan deras. Sempet bingung juga gimana pulangnya kalo gak reda. Yakin aja udah bahwa sederas apa pun hujan yang menghunjam bumi ada saatnya dia akan reda. Selain suara hujan, telinga dimanjakan oleh petikan kecapi, suara seruling, kendang, dan gitar menghasilkan harmonisasi yang, duh Gusti tong geura beres ieu acara. Kurang apa lagi coba? Nikmat mana lagi yang mau didustakan?
Pokoknya ada banyak harapan yang untuk Museum Multatuli sebagai museum anti kolonial pertama di Indonesia, semoga bisa menjadi mercusuar peradaban, menjadi sesuatu yang tak hanya dikenal oleh masyarakat Lebak dan Banten saja tetapi juga Indonesia dan Dunia. Semoga makin banyak warga Lebak yang datang ke Museum Multatuli bukan hanya untuk selfie tapi beneran buat belajar sejarah. Saya berharap juga semoga bisa berkunjung ke Museum Multatuli yang di Belanda sana, karena kabita pisan lihat kawan yang sudah berkunjung kesana dan saya hanya dikasih lihat photonya saja. Semoga juga wisata Lebak semakin dikenal luas. Karena Lebak adalah salah satu daerah yang kaya dengan apa yang dimilikinya (coba itu siapa yang beberapa waktu lalu bilang Lebak adalah salah satu daerah tertinggal?)
Lebak tuh punya semuanya. Hutan, gunung, pantai yang garis pantainya lebih dari 90 km, budaya, kearifan lokal yang ahiw pisan, apa lagi coba yang kurang? Iya bener. Toko buku. Lebak gak punya toko buku. Sugan aja gitu ya setelah ada bioskop bakalan ada toko buku, gak mesti Gramedia atau Gunung Agung atau Toga Mas, cukup TM Book Store atau Salemba atau Millenia aja saya udah bahagia. Sakitu waelah ti abdi, kurang langkung nyuhunkeun di hampura.
Salam
SiDede
Logo Institut Karinding Nusantara itu dibawah Bintang ada Karindingnya yang berwarna Pink tapi masih bahan baku. Sesuai moto MELESTARIKAN PELESTARI
BalasHapus