Pertama, buat yang
mau nyinyir sok aja silahkan.
Kedua, buat yang
mau menghujat silahkan juga.
Ketiga, buat yang
mau baca silahkan dibaca.
Mengapa saya pengen banget nulis ini (atau
ngetik?), ada keresahan yang menjadi sebab dan alasan. Ditambah juga status
(dan komentar) facebook bapak cihuy yang sangat menginspirasi banget buat nulis
ini.
Statusnya
tuh gini ”Ini tanah Lebak, bukan tanah
Multatuli. Multatuli itu orang Belanda bukan orang Lebak.” Keren. Kenapa saya bilang keren? Karena yang bikin status juga yang rame pada komen
bukan sekedar masyarakat biasa. Keren juga karena saat segelintir orang
dengan bangganya menyebut Lebak sebagai tanah Multatuli, si bapak dengan
hebatnya membuat status facebook seperti itu.
Saya kenal beliau sebagai guru saya pas
saya SMA dan sekarang kalau tidak salah sekarang menjadi bagian di Dinas
Pendidikan Kabupaten Lebak.
Jadi, kalau semisal ada yang gak setuju
atau ada yang nyinyir silahkan saja. Itu hak kalian. Sama seperti kami yang punya hak juga untuk TIDAK MENYEBUT LEBAK SEBAGAI TANAH
MULTATULI.
Coba tengok sejarah, siapa itu Multatuli?
Siapa itu yang Eduard Douwes Dekker? Yang tak lain dan tak bukan adalah seorang
(mantan) Asisten Residen Lebak berkebangsaan Belanda. Mengapa dia sebegitu diagung-agungkan
oleh sebagian orang yang katanya orang Lebak? Kalau saya bilang sih entah ya.
Tapi katanya, katanya ini mah ya, kan saya belum hidup pas zaman Multatuli hidup.
Dia tuh ngebelain peribumi alias orang Lebak yang ditindas, yang (maaf) miskin,
yang dijajah bangsanya padahal dia sendiri adalah orang Belanda.
Kalau sebegitu dihormatinya Multatuli
sampe sebegitu rupa, lalu apa rasa terima kasih kita untuk para pahlawan Lebak?
Para pahlawan daerah yang beneran berjuang dengan jiwa raga, harta benda dan
entah apa lagi milik mereka. Oke lah ya di Lebak ada makam pahlawan, ada juga
nama-nama jalan yang pake (mungkin itu) nama pahlawan juga. Tapi sepanjang saya
lihat, mereka, para pahlawan pribumi namanya gak seterkenal Multatuli.
Mengapa? Apa karena mereka orang asli Lebak?
Apa karena mereka bukan orang Belanda? Apa
karena mereka gak bisa bahasa belanda? Apa karena mereka gak nulis buku yang
dibaca oleh masyarakat dunia? Atau apa mereka bukan penjajah yang ngebelain
pribumi tapi pribumi yang ngebela tanahnya?
Saya merasa kok kayak krisis identitas
gini ya, coba lah tengok Perpustakaan Daerah yang gedungnya megah nan keren
itu. Namanya adalah Perpustakaan Saidja Adinda. Memang ada nama Perpustakaan
Daerahnya tapi tulisannya kebanting sama tulisan Saidjah Adinda. Disebelahnya
ada pula museum yang diberi nama Museum Multatuli yang awalnya merupakan gedung
Wedana Rangkasbitung, Kantor BKD Lebak (1923) yang merupakan Cagar Budaya.
Lalu pertanyaannya adalah apakah semua
masyarakat Lebak tahu siapa Saidjah Adinda? Tahu siapa Multatuli?
Saya pernah bertanya kepada Bibinya Emak
saya atau adik dari Nenek saya yang sudah tua tapi belum pikun. Saya tanya “Emak
tahu gak siapa Multatuli sama Saidjah dan Adinda?” Lalu apa jawabannya?
Jawabannya adalah sebuah pertanyaan. “Mereka itu siapa?” Nahkan... Tak salah
dong kalau saya bilang tidak semua orang Lebak tahu siapa itu Multatuli atau
Saidjah Adinda.
Saya juga pernah bertanya pada beberapa anak
sekolah, yang bersekolah disekitaran Rangkasbitung, pertanyaan yang sama
seperti yang saya tanyakan kepada bibi emak saya. Jawaban mereka pun sama.
Tidak tahu. Malahan ada yang balik tanya ke saya “Emang Multatuli itu siapa?
Saidjah Adinda itu siapa?”
Yang lebih cihuy juga ada, pas saya tanya
siapa itu Multatuli mereka jawab gini, “Nama jalan, nama SD, nama radio, nama
museum” dan itu gak salah juga. Kemudin saya tanya lagi “Tahu siapa Saidjah Adinda?”
mereka menjawab “Nama Perpustakaan” padahal yang saya tanya ke mereka tuh siapa
bukan apa.
#Ini hanya cerarau keresahan saya saja,
silahkan jika ingin menghujat, silahkan jika ingin memaki, saya terima. Saya
mah apa atuh cuma rakyat jelata yang tidak dilahirkan di Lebak tapi begitu
sayang sama Lebak. Mungkin saya yang kurang banyak belajar sejarah, mungkin
karena saya terlalu awam sama sejarah daerah sehingga saat ada yang menyebut
diri mereka sebagai “Anak-anak Multatuli” saya merasa kurang nyaman.
Maaf juga karena saya hanya tahu Saidjah
Adinda sebagai tokoh dalam novel Max Havelaar karangan Multatuli, yang entah
itu based on true story atau sekedar cerita fiksi saja. Saya memang bukan ahli
sejarah. Saya hanya seorang yang merasa bahwa “sepertinya ada yang salah dan harus diluruskan.”
Maaf untuk semua yang tak berkenan. Saya
hanya ingin menumpahkan apa yang mengganjal dalam benak saja. Saya hanya ingin
Lebak dikenal oleh semua orang karena sesuatu yang dimilikinya bukan dikenal
karena seseorang yang katakanlah orang lain yang tidak dilahirkan di tanah Lebak
yang hanya menghabiskan beberapa waktu saja dan telah menjadi sesuatu
yang menurut sebagian orang sangat luar biasa sekali.
Gak tahu deh apa yang bakalan para
pahlawan aseli Lebak rasakan seandainya saja mereka masih hidup saat tanah yang
mereka bela matimatian malah di akukeun
ka batur nu datang ti belahan bumi antah berantah.
SiDede
*urang Lebak nu
teu lahir di Lebak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar